Minggu, 03 Juli 2011

Keseimbangan Emosi

Oleh Muhammad Saifudin Kodiran

Allah SWT dalam surah an-Nas mengajarkan setiap hamba untuk memohon perlindungan kepada-Nya agar terhindar dari keadaan al-waswas. Permohonan dalam surah itu menggunakan tiga sifat sekaligus, yaitu Rabbin Nas, Malikin Nas, dan Ilahin Nas. Kata Rabb bermakna pemelihara, pendidik, dan pencipta yang berkonotasi dengan sifat kasih-sayang; Malik, bermakna raja dan penguasa dengan kesan bijaksana, tegas, dan adil; dan Ilah berkenaan dengan ubudiah dan keyakinan.



Ketiga sifat itu digunakan untuk memohon perlindungan dari satu masalah saja, yaitu al waswas fi shudurin nas. Al-waswas secara bahasa berarti bisikan-bisikan suara halus yang merasuk dalam sanubari. Dengan bahasa sederhana, bisa dipahami sebagai rangkaian situasi emosional yang tidak seimbang dan kerap menyesakkan dada.

Keseimbangan emosi merupakan ciri pribadi yang sehat. Keseimbangan emosi menjadi faktor terpenting bagi efektivitas nalar untuk mampu bekerja secara baik. Alquran menilai bahwa menjaga keseimbangan emosi (al-kadziminal ghaizh) adalah ciri dari ketakwaan. (QS Ali Imran [3]: 134).


Rasulullah SAW memuji dan menyebut orang yang dapat menjaga emosi sebagai orang yang kuat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bukanlah orang kuat itu adalah orang yang hebat bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan emosinya ketika ia marah." (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam kamus psikologi, keseimbangan emosi disebut dengan emotional stability, karakteristik seseorang yang memiliki kontrol emosional yang baik. Terkadang diistilahkan juga dengan emotional maturity (kedewasaan emosional), yaitu satu keadaan mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional.

Sebaliknya, emosi yang tidak seimbang (al-waswasu) dapat mengakibatkan kecemasan (anxiety), kegelisahan (nervous), kekhawatiran yang berlebih dan sikap tak bertanggung jawab. Kondisi semacam ini bisa menghambat sistem kerja otak menalar setiap masalah secara optimal sehingga dapat menyebabkan kebimbangan yang berlarut. Alquran mencela orang yang demikian. (Lihat QS an-Nisa [4]: 143).

Rasulullah SAW selalu memperingatkan sahabatnya, "Jangan suka marah (emosi)." Para sahabat itu terus bertanya dan Nabi SAW berulang-ulang berpesan, "Jangan suka marah." (HR Bukhari).

Situasi semacam ini bisa ditimbulkan oleh faktor internal meliputi tingkat kematangan emosi, pola berpikir, dan kualitas keyakinan (iman). Dapat pula disebabkan adanya pengaruh kuat dari faktor eksternal (bisikan jin atau perilaku orang lain). Karena itu, janganlah mengambil keputusan dalam kondisi seperti ini sebab nantinya akan menciptakan masalah yang lebih rumit.

Abu Bakrah meriwayatkan, Rasul SAW bersabda, "Seseorang janganlah memutuskan perkara antara dua orang saat ia sedang dalam keadaan marah." (HR Bukhari dan Muslim). "Bila seorang dari kamu sedang marah, hendaklah diam."(HR Ahmad). Atau dengan mengambil air wudhu. "Sesungguhnya kemarahan itu dari setan, sungguh setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api dapat padam dengan air maka jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah berwudhu." (HR Ahmad dan Abu Daud). Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar